4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kota Bekasi

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kabupaten Kuningan

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kota Cimahi

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kabupaten Indramayu

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kabupaten Subang

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kabupaten Bandung Barat

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kota Tangerang Selayan

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Bekasi

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Kota Tangerang

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.

4 Gaya Komunikasi Negatif dari John Gottman di Jakarta Utara

Sebagai Pemimpin, setiap hari kita melakukan komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan anggota tim kita. Gaya komunikasi yang kita lakukan sangat menentukan sejauh mana relasi yang dibangun akan menjadi positif atau sebaliknya menjadi negatif. Kekuatan relasi inilah yang menentukan seberapa efektifnya kita sebagai Pemimpin telah menjalankan peran kepemimpinan kita dalam membangun relasi.

John Gottman, seorang Psikolog dari Universitas Washington telah melakukan penelitian secara mendalam pada banyak pasangan suami- istri dan menemukan ada 4 gaya komunikasi yang sangat berbahaya jika dilakukan oleh suami/ istri kepada pasangannya satu sama lain. Bahkan 4 gaya komunikasi ini jadi prediktor kuat terhadap terjadinya perceraian! John Gottman menyebut 4 gaya komunikasi negatif ini sebagai “The four horsemen of apocalypse”.

Apa yang ditemukan oleh John Gottman dalam penelitiannya amat sangat relevan dalam relasi antara Pemimpin dengan anggota timnya. Sebagai pemimpin, inilah “The four horsemen” yang perlu kita hindari dalam komunikasi dan interaksi kita dengan anggota tim

  1. Criticism (tindakan mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan feedback. Bila feedback mendefinisikan perilaku spesifik yang mau diperbaiki, maka mencela merupakan serangan personal kepada karakter seseorang. Seorang Pemimpin yang mencela anggota timnya baik secara privat maupun di depan umum akan melukai relasi yang terbangun. Bila ia terus menerus melakukannya maka dia akan meracuni relasinya dengan orang itu dan meruntuhkan rasa hormat orang lain padanya.

Kata- kata seperti “kamu tidak pernah….”,“ kamu selalu….” merupakan salah satu sikap mencela yang meng- generalisir orang lain seakan- akan semua perilakunya merupakan keburukan. Salah satu tindakan mencela merupakan sikap menyalahkan orang lain tanpa melihat dan memahami konteks situasi dan permasalahan yang terjadi. Sikap menyalahkan ini pada akhirnya akan memicu sikap defensif dari orang yang disalahkan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan perdebatan emosional satu sama lain.

Antidote dari criticism ini yaitu dengan memberikan feedback yang membuat serta berfokus pada perilaku tanpa melebar ke hal- hal lain dan tidak menyerang secara personal.

  1. Defensiveness (defensif)

Sikap defensif merupakan sikap membenarkan diri terhadap “ketidakbersalahan” kita. Kita melindungi diri dengan membuat alasan dan menghindar untuk mengambil tanggung jawab. Ketika seorang pemimpin sering bersikap defensif terhadap masukan ataupun feedback, maka ia sebenarnya sedang mempertunjukkan dirinya yang mempunyai rasa inferior dan rasa tidak aman (insecure).

Salah satu bentuk defensif merupakan dengan menyerang balik orang lain. Sikap ini ialah bentuk pertahanan diri dengan cara menyerang orang lain. Ketika pemimpin menyerang balik atau mempersalahkan orang lain, ia akan semakin memperburuk keadaan dan menjadikan orang yang menyampaikan feedback padanya hanya akan semakin “malas” untuk bicara dengannya.

Bentuk lain dari defensif merupakan dengan mengeluh dan menempatkan diri sebagai korban. Keluhan tidak akan pernah memecahkan masalah, dan menempatkan diri sebagai korban tidak akan menjadikan orang lain berpikiran lebih positif tentang kita.

Antidote dari defensiveness ini yaitu dengan mengambil tanggung jawab pribadi terhadap situasi dan permasalahan yang terjadi. Menyadari bahwa bagaimanapun kita punya peran terhadap permasalahan, dimana apa yang kita katakan atau lakukan pernah berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi.

  1. Stonewalling (blocking)

Stonewalling yaitu ketika kita menarik diri dari pembicaraan yang terjadi. Ketika kita tampak tidak peduli / “tidak ingin tau” mengenai apa yang sedang dibahas saat itu. Ketika kita asal menjawab dan tampak tidak mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung. Disebut stonewalling (dinding batu) karena seakan- akan berhadapan dengan dinding batu yang keras, yang sulit untuk ditembus dan diberi pengertian.

Ketika pemimpin melakukan stonewalling, ia seperti melakukan “blocking”. Ia dapat tidak menjawab, diam, meninggalkan ruangan. Pemimpin yang melakukan stonewalling bukan berarti ia tidak peduli. Orang yang melakukan stonewalling biasanya sedang merasa overwhelmed (terbebani) terhadap suatu hal sehingga ia menarik diri dan terkesan tidak peduli.

Antidote dari stonewalling ini merupakan menenangkan diri, mengambil waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan kemudian kembali melakukan pembicaraan yang diperlukan dengan kontrol emosi yang lebih baik dan tenang.

  1. Contempt (sikap merendahkan)

Contempt merupakan setiap perilaku non verbal maupun verbal yang merendahkan orang lain, yang menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Suatu sikap meremehkan orang lain sebab merasa diri “lebih”, entah lebih pintar, lebih tahu, lebih tinggi jabatan, ataupun lebih berpengalaman. Menghina, mengejek, memandang sinis, apalagi hal sederhana seperti menaruh laporan anggota tim dengan dibanting merupakan beberapa contoh perilaku contempt. Diantara 4 gaya komunikasi negatif dari John Gottman ini, contempt merupakan bentuk komunikasi yang sangat destruktif.

Pemimpin yang melakukan contempt akan menghancurkan relasinya dengan orang lain dan menanamkan rasa sakit hati pada mereka. Saat pemimpin melakukan contempt, sebenarnya secara tidak langsung dia juga melukai dirinya sendiri.

Antidote dari contempt ini merupakan membudayakan apresiasi. Untuk melakukan antidote ini, Pemimpin sungguh- sungguh perlu melakukan upaya ekstra keras untuk merubah cara berpikir, cara merasa, maupun cara bertindak dengan menempatkan anggota tim sebagai pihak yang perlu dilayani dan bukan menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melayani kita.

Budaya apresiasi yaitu dengan membiasakan untuk melihat hal baik yang sudah dilakukan oleh anggota tim kita, sering menemukan mereka melakukan kinerja baik dan memberikan pujian/ apresiasi secara tulus.

Apakah melakukan antidote terhadap 4 gaya komunikasi negatif ini mudah dilakukan? Tentu tidak! Terkadang secara tidak sadar ataupun karena terpengaruh situasi, kita melontarkan gaya komunikasi negatif ini pada anggota tim. Untuk itu, butuh kesadaran diri secara penuh pada setiap moment komunikasi kita dengan anggota tim untuk mengelola diri dan menghindari 4 gaya komunikasi negatif ini.